Jumaat, November 20, 2009

PENDUDUK KOTA TUMBUH PESAT


Dari waktu ke waktu, penduduk perkotaan senantiasa bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Diperkirakan tahun 2020 di Indonesia akan terdapat 23 kota yang memiliki jumlah penduduk di atas 1 juta jiwa, dimana 11 diantaranya berada di Pulau Jawa. Lima dari 23 kota tersebut akan berpenduduk di atas 5 juta jiwa.
Pertumbuhan penduduk diperkotaan di satu sisi, menyebabkan pertumbuhan penduduk perdesaan mengalami stagnasi dan bahkan terdapat kecenderungan menurun. Hal ini juga menunjukkan adanya perubahan masyarakat perdesaan yang telah menjadi perkotaan. Data menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk diperkotaan jauh di atas laju pertumbuhan penduduk di daerah perdesaan. Pada tahun 1990, persentase penduduk perkotaan baru mencapai 31 persen dari total penduduk Indonesia. Namun tahun 2000 lalu telah mencapai 42 persen, dan diperoyeksikan pada tahun 2025, keadaannya berbalik, yaitu perkotaan berpenduduk 57 persen dan perdesaan 43 persen. Hal ini juga ditunjukkan dengan perbandingan kecepatan pertumbuhan penduduk perkotaan dan perdesaan yang semakin besar, yaitu dari 6:1 menjadi 14:1
Perkembangan urbanisasi di Indonesia perlu diamati secara serius. Banyak studi memperlihatkan bahwa tingkat konsentrasi penduduk di kota-kota besar telah berkembang dengan pesat. Studi yang dilakukan oleh Warner Ruts tahun 1987 menunjukkan bahwa jumlah kota-kota kecil (<100 ribu penduduk) sangat besar dibandingkan dengan kota menengah (500 ribu sampai 1 juta penduduk). Kondisi ini mengakibatkan perpindahan penduduk menuju kota besar cenderung tidak terkendali. Ada fenomena dimana kota-kota besar akan selalu tumbuh dan berkembang, kemudian membentuk kota yang disebut kota-kota metropolitan. Jakarta sebagai misal, telah lama menjadi kota terpadat di Asia Tenggara dengan perkiraan penduduk mencapai 12 juta jiwa pada tahun 1995. Dan diperkirakan sekitar 2015, akan menduduki tempat kelima dalam 10 besar kota-kota terbesar di dunia. Jika tingkat urbanisasi di Indonesia dilihat berdasarkan Pulau dan Propinsi, maka tiga pulau tertinggi tingkat urbanisasinya adalah pulau Jawa mencapai 57,47 persen, Kalimantan 36,52 persen dan Sumatera 34,26 persen. Jika dilihat berdasarkan Propinsi, maka Propinsi tertinggi yang memiliki tingkat urbanisasi di atas rata-rata nasional (42,15 persen tahun 2000) DI Yogkakarta 57,25 persen, Kalimantan Timur 56,88 persen, dan Jawa Barat 50,22 persen. Sedangkan tingkat urbanisasi terendah adalah Nusa Tenggara Timur hanya 15,45 persen.

Namun dibandingkan tahun 1990 lalu, maka pada tahun 2004 tingkat urbanisasi di seluruh Propinsi telah mengalami perubahan secara signifikan. Lima Propinsi yang paling tinggi tingkat urbanisasinya adalah Propinsi Bali dari 26,44 persen menjadi 46,87 persen (20,43 persen), disusul NTB dari 17,13 persen menjadi 34,39 persen (17,26 persen). Jawa Barat dari 34,51 persen meningkat menjadi 50,22 persen (15,71 persen), Jawa Timur dari 27,45 persen menjadi 40,62 persen (13,17 persen) dan DI Yogyakarta dari 44,43 meningkat menjadi 57,25 persen (12,82 persen).
Jika dilihat dari kepadatan penduduk, maka pada tahun 2004 ini Jakarta adalah satu-satunya Propinsi dengan tingkat kepadatan paling tinggi yang mencapai 13.240 penduduk per km. Jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 114 penduduk per km. Disusul Jawa Barat dengan 1.084 penduduk per km dan Jawa Tengah dengan 1003 penduduk per km. Sementara Jawa Timur hanya 742 penduduk per km masih di bawah D.I. Yogyakarta yang mencapai 994 penduduk per-km.
Derasnya urbanisasi di Indonesia terjadi karena berbagai faktor. Kota dengan segala fasilitasnya menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk perdesaan. Cerita sukses dan penampilan fisik yang dipamerkan para Pemudik saat lebaran merupakan bumbu rangsangan tersendiri bagi penduduk perdesaan. Kehidupan glamour yang dipertontonkan media massa khususnya televisi melalui Sinetron dan format acara lain menjadi suplemen mimpi untuk mengadu nasib dan mencari peruntungan penduduk perdesaan di perkotaan. Sempitnya lapangan pekerjaan di perdesaan dan seretnya peredaran uang di perdesaan menambah daya dorong penduduk perdesaan melakukan urbanisasi
Jakarta sebagai ibu kota Negara, sejak dulu telah menjadi buruan pencari kerja dari berbagai wilayah tanah air. Tidak mengherankan jika penduduk kota Metropolitan ini terus tumbuh dengan pesat. Pada tahun 1961 Jakarta berpenduduk 2,9 juta jiwa dan melonjak menjadi 4,55 juta jiwa 10 tahun kemudian. Pada tahun 1980 bertambah menjadi 6,50 juta jiwa dan melonjak lagi menjadi 8,22 juta jiwa pada tahun 1990. Yang menarik, dalam 10 tahun antara 1990-2000 lalu, penduduk Jakarta hanya bertambah 125.373 jiwa sehingga menjadi 8,38 juta jiwa.
Sepanjang tahun 1980-2000 penduduk Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara terus mengalami peningkatan. Sebaliknya penduduk Jakarta Pusat terus berkurang dari 1,26 juta jiwa pada 1971 menjadi 893 ribu tahun 2000. Penduduk Jakarta Selatan sampai tahun 1990, masih menunjukkan peningkatan, namun pada tahun 2000 mulai mengalami penurunan dari 1,9 juta jiwa menjadi 1,78 juta jiwa. Lambannya pertumbuhan penduduk Jakarta sejak 1990 lalu, disamping program KB yang telah mampu mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, juga karena banyaknya penduduk Jakarta yang migrasi ke Propinsi Jawa Barat dan Banten. Tidak mengherankan bila dalam kurun waktu 1990 sampai 2000 lalu, laju pertumbuhan penduduk (LPP) DKI Jakarta yang hanya 0,16 persen per tahun. Jauh di bawah LPP periode 1980-1990 yang mencapai 2,42 persen per tahun atau di bawah rata-rata nasional yang masih 1,49 persen per tahun.
Meskipun Jakarta berpenduduk sebesar 8,38 juta, namun pada siang hari Jakarta dipadati oleh para Commuters sekitar 1,3 juta jiwa, sehingga penduduk Jakarta di siang hari bertambah menjadi sekitar 9,68 juta jiwa. Para Commuters ini datang dari Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi baik yang bekerja maupun sekolah di Jakarta. Pada hari-hari arus balik Lebaran seperti sekarang ini, Jakarta kebanjiran pendatang dari daerah. Menurut perkiraan Pemerintah Jakarta, setiap lebaran penduduk DKI bertambah sekitar 250 ribu jiwa baik untuk mencari kehidupan baru di Jakarta maupun sebagai tempat transit menuju kota-kota lain di Banten, jawa Barat maupun kota-kota di Sumatera. Kebanyakan para pendatang hanya berbekal tekad tanpa keterampilan yang memadai. Kue lapangan pekerjaan di Jakarta yang terbatas diperebutkan dengan ketat. Kebijakan Pemerintah Daerah telah memasang rambu-rambu. Pemerintah DKI Jakarta sebagai misal, mensyaratkan harus ada jaminan pekerjaan dan tempat tingal bagi pendatang sebelum memperoleh Kartu Tanda Penduduk (KTP). Padahal, Penduduk Jakarta tanpa KTP tidak dapat memperoleh pelayanan apapun termasuk kartu sehat yang dapat dipergunakan berobat secara gratis. Tidak mengherankan bila para pendatang ini harus tinggal di kolong jembatan dan gubuk-gubuk liar, menjadi pengemis dan gelandangan di jalanan yang dapat kita saksikan setiap hari.


0 komentar:

Catat Ulasan